Plak! Byuuur! Kulempar seikat benih padi ke tengah sawah, di mana Budi berdiri di sana.
"Wong edaaan !!" serunya pura-pura marah. Aku hanya tertawa terbahak-bahak melihat kaosnya basah kuyup oleh cipratan air bercampur lumpur. Plak! Byuuur! bunyi air yang terciprat dan mengarah ke arahku saat kakinya diayunkan ke kubangan sawah yang akan ditanami padi. Aku lari berkelit menghindar, tapi terlambat. Sebagian kaosku pun terkena cipratan lumpur. Kami pun tertawa lepas tanpa beban. Kesenangan anak desa yang tak terlupakan saat musim tanam padi tiba.
Orang-orang tua kami bekerja dengan giat mencangkul tanah, membajak dan memupuk tanah dengan pupuk hewan dan kompos yang sengaja disisihkan di samping kandang sapi kami. Kulit yang hitam terbakar matahari tak dihiraukan lagi, demi memulai masa tanam dengan harapan bisa mendapatkan panen yang melimpah. Meski kadang kenyataan tidak sesuai harapan. Pupuk dikuasai para pemain yang seenaknya sendiri mempermainkan harga. Mana berani kami protes, bagi kami, yang penting adalah sekeluarga bisa makan nasi dan lauk seadanya.
Saat itu, sekitar tahun 1986. Memang negeri kami saat itu terasa aman dan tentram tanpa ada gejolak yang berarti. Atau memang kami sendiri yang tidak tahu dan tidak boleh tahu. Karena siaran berita dimonopoli pemerintah. Jangankan berita, TV saja masih hitam putih dan menggunakan baterai mobil untuk menyalakannya. Hanya jika ada acara favorit kami, orang desa,yaitu Kethoprak, kami sekampung bisa kompak berkumpul bersama di rumah bapak untuk menontonnya. Ya... di desa kami, hanya ada 3 buah TV hitam putih yang tersedia. Bukan karena kami pelit, tapi memang TV saat itu merupakan barang mahal, yang tidak semua orang punya. Kebetulan bapakku yang seorang guru mampu membelinya. Itupun hanya bisa menghidupkannya tiap malam minggu dan minggu saja.
"Bim, kita makan dulu yuk! Ngelih ki..." seru Budi sehabis terbahak-bahak melihatku terkena cipratannya. Pandangan matanya melihat ke arah desa kami. Kulihat ibu sedang meniti pematang sambil menenteng rantang dan bakul nasi. Aku tersenyum mengacungkan jempol kananku ke Budi. Kami pun berjalan beriringan menuju ke gubug yang dibangun di atas sungai yang memisahkan sawah bapak. Bergegas kami mencuci tangan di sungai yang mengalir dan membantu Ibu menurunkan bakul, rantang dan barang bawaan lainnya.
"Nih makanan sudah siap, le" sahut Ibu.
"Makan besar nggih bu..." tukas Budi.
"Apa ta le... Wong hanya gereh teri, sayur bayam sama sambel trasi. Ada juga tempe goreng."
Mendengar penuturan Ibu, kami meleletkan lidah, membayangkan kenikmatan yang akan kami reguk. Bagi kami orang desa, makanan tadi sudah merupakan makanan mewah. Kami menarik tumpukan daun pisang yang di bawa Ibu dan membuat pincuk (piring dari daun pisang yang dibuat segitiga, dikancing menggunakan lidi yang dipotong), dan mulai mengambil nasi menggunakan centong kayu. Hangat dan harumnya nasi begitu menggoda.
"Le.... kamu sudah kelas 6, jangan terlalu sering main di sawah. Utamakan sekolahmu. Sebentar lagi kamu mau masuk SMP." kata Ibu sambil memandangi kami berdua yang lahap makan dengan tangan.
"Nggih bu. Tapi saya juga pengin mbantu Bapak."
"Nggak dibantu juga nggak papa. Kan ada mas Mitro."
"Ya, tapi kan kalau kita bantu bisa lebih cepat."
"Pokoknya tugasmu adalah belajar. Ibu nggak ingin hidupmu nanti terlantar di kemudian hari", sahut Ibu.
"Nggih bu."
Kalau Ibuku sudah berkata dan sedikit memaksa, aku tidak pernah berani untuk menyanggah atau menolaknya.
O, ya. Namaku Bimo. Kami tinggal di desa sebelah selatan Gunung Merapi, kawasan persawahan yang subur. Bapakku seorang guru desa, sedang ibuku seorang ibu rumah tangga. Wajahku bisa dibilang lumayan, karakter wajah jawa sekali, berkulit sawo matang. Aku mempunyai sahabat namanya Budi, yang menemaniku bermain ataupun mencari rumput untuk makanan sapi. Keadaan keluarganya masih kurang beruntung daripada keluargaku. Keluarganya lebih sederhana. Rumahnya masih memakai gedheg atau lembaran anyaman bambu sebagai dindingnya, dan lantainya masih tanah. Namun kami tidak pernah menjaga jarak. Ke mana ada Bimo, di situ pasti ada Budi. Masa indah kanak-kanak saat itu. Sekolah tanpa alas kaki. Bahkan celana Bimo yang sudah kumal terbiasa memakai plastik rafia sebagai sabuk. Kami terbiasa berpayung daun pisang jika pulang sekolah kehujanan. Seringnya bermain air hujan, tanpa kenal sakit. Tak jarang, kami minum air mentah dari Jembangan, semacam bejana tanah liat yang dasarnya berlumut, namun airnya segar saat kami bermain dan kehausan. Tak pernah khawatir sakit perut, karena memang tidak pernah kami alami.
(Bersambung)